Sabtu, 19 Desember 2015

Pembangkit listrik ramah lingkungan yang terinspirasi tumbuhan

Pembangkit listrik ramah lingkungan yang terinspirasi tumbuhan
Model komputer yang menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok fungsional katalis menempel ke nano-pori padat untuk memfasilitasi reaksi cepat pengubahan karbon dioksida dan hidrogen menjadi produk bernilai. (University of Pittsburgh/Jingyun Ye)
Kami mencoba mempercepat siklus karbon alami dan membuatnya lebih efisienKami mencoba mempercepat siklus karbon alami dan membuatnya lebih efisien"
Jakarta (ANTARA News) - Tim perekayasa kimia di University of Pittsburgh baru-baru ini mengidentifikasi dua faktor utama untuk menentukan katalis optimal guna mengubah CO2 atmosfer menjadi cairan bahan bakar.

Hasil studi yang dipublikasikan di jurnal ACS Catalysis itu akan mempersingkat pencarian katalis baru yang tidak mahal tapi punya efektivitas tinggi.

Bayangkan satu pembangkit listrik yang mengambil karbon dioksida yang jumlahnya berlebih di atmosfer akibat pembakaran bahan bakar fosil dan mengubahnya kembali menjadi bahan bakar. Kemudian bayangkan pembangkit itu hanya menggunakan sedikit air dan sinar matahari untuk beroperasi.

Pembangkit listrik itu tidak akan membakar bahan bakar fosil dan akan benar-benar mengurangi jumlah CO2 di atmosfer selama proses produksinya.

Selama jutaan tahun, tumbuhan menggunakan air, cahaya matahari, dan CO2 untuk menghasilkan gula yang memungkinkan mereka tumbuh.

Para ilmuwan di seluruh dunia sekarang mengadopsi perilaku produksi energi mereka.

"Kami mencoba mempercepat siklus karbon alami dan membuatnya lebih efisien," kata Karl Johnson dari Departmen Rekayasa Kimia dan Perminyakan di University of Pittsburgh dan peneliti utama dalam studi itu.

"Anda tidak perlu membuang energi pada beban ekstra yang dibutuhkan untuk menumbuhkan tanaman, dan hasilnya adalah siklus karbon buatan manusia yang menghasilkan bahan bakar cair," katanya di laman resmi University of Pittsburgh, Amerika Serikat.

Karbon dioksida adalah molekul yang sangat stabil, dan energi dalam jumlah sangat besar dibutuhkan untuk membuatnya bereaksi.

Satu cara umum untuk menggunakan kelebihan CO2 melibatkan pemindahan atom oksigen dan penggabungan sisa CO dengan H2 untuk menghasilkan methanol.

Namun demikian selama proses ini bagian dari reaktor konversi membutuhkan panas sampai 1.000 derajat Celsius, yang bisa jadi sulit dipertahankan, utamanya jika satu-satunya sumber energinya matahari.

Katalis bisa membuat CO2 bereaksi pada temperatur yang jauh lebih rendah.

Beberapa peneliti masih meneliti bahan-bahan yang berbeda yang bisa memecah CO2 bahkan pada suhu ruangan.

Tapi ini, dan kebanyakan katalis reaktif yang sudah diidentifikasi terlalu mahal untuk produksi massal, dan bahan bakar fosil masih menawarkan sumber energi murah.

Harga yang murah dan pasokan bahan bakar fosil yang melimpah mencegah banyak perusahaan menanamkan modal dalam riset pencarian katalis baru yang berbiaya mahal.

Hasil studi berjudul "Screening Lewis Pair Moieties for Catalytic Hydrogenation of CO2 in Functionalized UiO-66" memberi para peneliti ide bagus tentang bagaimana mereka sebaiknya mencari katalis yang optimal.

Johnson, bersama rekan penulis dan periset Jingyun Ye dari University of Pittsburgh, meneliti serangkaian delapan kelompok fungsional berbeda dari asam Lewis dan pasangan basa (pasangan Lewis), senyawa reaktif yang sering digunakan sebagai katalis.

Mereka menemukan bahwa dua pengkualifikasi bahan katalis bagus adalah jerapan atau adsorpsi energi hidrogen dan kekuatan pasangan Lewis--pengukuran perbedaan antara ionisasi potensialnya dengan afinitas elektron.

Menggunakan kerangka kerja ini, Johnson berencana bekerja dengan para peneliti untuk memindai katalis-katalis secara lebih efektif, dan harapannya bisa membawa peneliti lebih dekat ke pembuatan pembangkit listrik yang menghasilkan bahan bakar cait dengan mengurangi CO2 atmosfer. 

Editor: Suryanto
Sumber: www.antaranews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar